Kamis, 30 April 2009

Sebuah Cerita

Sebuah Cerita

Dharma Poetra

Air mata Ibu, pelukan Bapak,

mengiringi langkah pertama meninggalkan nagari.

Berat rasanya meninggalkan kampung halaman, tempat ku lahir dan dibesarkan

sawah, ladang, hutan, handai tolan.

Menyeberangi lautan, lepas dari tanah Andalas,

melanjutkan perjalanan hidup,

menambang butir-butir kebijaksanaan.


Dan aku berjalan sendiri kini, disini,

meninggalkan sahabat, meninggalkan kenangan masa lalu,

mencoba mengukir masa depan,

menorehkan lembaran baru di album kehidupanku.

Cemas dan bahagia bercampur, mengaduk-adu jantung,

saat menapakkan kaki di negeri baru.

Babak baru perjalanan dimulai.


Musim berganti, waktu terus berjalan.

Purnama terus datang dan pergi,

dan hidup tak seindah pelangi di sore hari.

Hujan badai, topan dan petir menyambar-nyambar,

menguji kekukuhan, menumbangkan, menampar-nampar, membakar.

Pernah aku roboh dan terbakar,

dan embun pagi menumbuhkan tunas harapan baru.

Tertatih-tatih mencoba bangkit


Semilir angin membawa doa Ibu,

kicau burung mengabarkan nasihat Bapak,

kukirimkan sembah sujud melalui bintang,

kusampaikan peluk cium dengan matahari pagi,

dan rembulan membawa kabar berita.


Lama aku duduk bersimpuh, terdiam

menangis tersedu-sedu,

rindu belaian Ibu, teringat petuah Bapak,

gurau canda ria dengan dan kehangatan rumah.


Dan perjalanan ini masih panjang,

cerita ini terus bersambung,

sehingga aku belum bisa pulang,

sebelum kubawa mahkota Bangga,

kuhadiahkan

Harapan dan cita-cita memberati pundak,

semakin lama, semakin berat.


Secangkir kopi panas dan sebatang kretek di pagi hari,

kebiasaan warisan Bapak.

Mata ini merah berair bukan karena asap,

dan aku terengah-engah berlari menggapai mimpi.

Aku mulai membenci hujan,

mengingatkan hangatnya dekapan Ibu.


Kumatikan lampu kamar,

kutatap langit melalui jendela kamar yang berembun.

Langit mendung, seakan ikut merasakan rindu ini.


Ah, terlalu lama aku tenggelam dalam kesedihan,

terlalu lama aku terhenti, padahal jalan masih panjang.

Padahal perjalanan masih jauh dari tujuan,

jarum jam masih terus berdetak, matahari pasti akan bersinar lagi.


Esok pasti menyongsong,

walau perlahan, aku akan tetap melangkah.

Karena ada waktunya aku berlari,

ada waktunya aku berjalan perlahan terseok-seok.

Walau terjatuh, harus segera berdiri.


Luka adalah bagian dari cerita perjalanan.

Walau perih dan berdarah, pasti akan mengering dan sembuh.

Keping-keping kearifan tidak didapatkan dengn mudah


Akan tiba suatu saat,

ketika perjalanan mencapai tujuan.

Bintang-bintang menunjukkan arah,

desir angin menyanyikan hymne,

hutan, sawah, ladang menyambut kedatangan,

seperti sahabat lama bertemu kembali.


Saat itu aku akan kembali,

membawa oleh-oleh yang sangat berharga.

Berlari bergegas ke halaman rumah,

mendekap Ibu, memeluk Ayah,

dan berbisik:

”Aku Pulang”

Tidak ada komentar: